OPINI - Daulat rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia bersumber dari amanah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan UUD 1945. Ketentuan dasar ini tidak pernah lepas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan untuk elit negara.
Jika dihitung waktu keterlibatan rakyat dalam berdemokrasi, sesungguhnya rakyat hanya memiliki waktu keterlibatan kurang lebih lima menit saja sebagai pemilih di bilik suara, selebihnya adalah waktu sangat banyak milik elit penguasa berpesta-pora dengan kue kekuasaan tanpa peduli nasib rakyat yang memilihnya.
Penyebab ini salah satunya adalah tidak adanya mekanisme untuk mengontrol Presiden sebagai mandataris rakyat ataupun DPR sebagai perwakilan rakyat supaya mendengarkan suara-suara rakyat.
Seluruh kebijakan dan keputusan untuk kemakmuran rakyat diatur dan berada di tangan mereka sebagai penguasa yang cenderung disalahgunakan.
Tidak main-main selama 43.199 jam plus 55 menit dalam satu periode lima tahun menjadi hak penguasa dalam menentukan arah negara, sedangkan milik rakyat hanya 5 menit, sangat jomplang demokrasi direduksi sampai pada jurang yang sangat jauh antara keterlibatan rakyat dengan lamanya elit berkuasa di atas.
Apalagi adanya aturan perundang-undangan yang memiliki celah, sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan karena dilematisnya aturan yang dirumuskan.
Terkadang ada oknum tertentu cerdas dan kreatif untuk menyimpang dari perilaku yang normal, seperti adanya KKN dengan menyelewengkan aturan yang ada.
Hak kontrol rakyat yang diberikan negara dalam bentuk menyampaikan pendapat di muka umum, itu dimiliki secara bertanggung jawab sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku diatur oleh Pasal 28 UUD 1945. Kemudian dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan hak bagi warga negara melakukan unjuk rasa atau demonstrasi.
Baca juga:
KMPG : 2024 Golkar Harus Bebas Hambatan
|
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum tersebut, negara menjamin Kepolisian RI bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum, seperti diatur oleh Pasal 13 ayat (2). Sanksi yang menghalangi penyampaian pendapat dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum di pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, seperti dalam Pasal 18 ayat (1) UU 9 Tahun 1998.
Anehnya hak-hak rakyat yang dilindungi UU itu di kebiri dan diamputasi oleh kekuasaan negara dengan adanya sanksi dalam Pasal-pasal di UU ITE, sanksi pencemaran nama baik, sanksi melakukan kekerasan kepada petugas dan bahkan sanksi tuduhan perbuatan makar.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk membatasi kuasa elit, dan mengurangi bentang jarak antara kepentingan elit dan rakyat adalah menjadi pemilih cerdas, atau cermat dalam menyeleksi elit yang akan menduduki di tampuk kekuasaan. Caranya memilih calon penguasa Eksekutif/presiden atau para anggota Legislatif dari orang-orang yang berkompeten (punya ilmu, iman dan taqwa), berintegritas, responsif, obyektif dan berani.
UUD 1945 menjamin setiap warga negara berhak, baik dalam hal politik, sosial dan hukum, yang bersama-sama dalam perhelatan pesta demokrasi yang akan berlangsung di Indonesia. Adanya Politik Dinasti yang menjadi pro-kontra dalam masyarakat terkait munculnya calon dari keluarga penguasa di anggap menciderai nilai-nilai demokrasi, dan disinyalir dapat mengambil keuntungan untuk berkuasa.
Keberadaan politik dinasti dianggap memiliki konotasi negatif dalam pemerintahan karena berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pengertian politik dinasti adalah melalui proses mengarahkan regenerasi kekuasaan (re-produksi) bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan negara dengan mudah, yang diteruskan baik oleh suami/istri, anak/mantu, atau kerabat dekatnya.
Pewarisan kekuasaan bukan ditunjuk langsung, tetapi lewat jalur politik prosedural, keluarga para elite masuk lewat institusi yang disiapkan, yakni Partai Politik. Dinasti politik ini tidak memberikan celah kepada pihak lain walaupun kompetensinya melebihi dari keluarga dinasti, berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah dan rawan terjadinya praktek KKN.
Hakikatnya dinasti politik hanya tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan monarki, yang sistem kekuasaannya sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.
Mengedepankan moral/etika yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai sesuatu yang baik dan buruk, sehingga etika politik dinasti tidak baik apabila dilakukan oleh elite politik. Kalau seorang elite politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot, dan rakyat akan menilai ternyata bangsa di jaman reformasi ini dibangun dengan sistem nepotisme (KKN), itu tidak sehat walaupun menurut UU tidak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya melarang karena bertentangan dengan konstitusi, seperti dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menyebutkan, Calon kepala daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Pasal ini lebih dikenal dengan penghapusan politik dinasti, bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis “.
Putusan MK di atas ini menuai kritik serta menyebabkan pro dan kontra dikalangan para elite politik dan pakar hukum, seperti juga yang baru terjadi pada tanggal 16 Oktober 2023, yakn pada putusan MK dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Jakarta, 17 November 2023
Dahlan Pido, SH., MH.
(Praktisi Hukum/Advokat Senior)