OPINI - Indonesia patut bersyukur dengan munculnya beberapa tokoh dari kalangan budaya, lebih spesifik dunia pewayangan, seperti Sujiwo Tejo dan Nanang Hape, yang telah membuat jagad pakelir menjadi begitu segar dan digandrungi generasi milenial kita hari ini.
Di awal kemunculannya pada September 2010, di layanan jejaring sosial Twitter, Sujiwo Tejo tiba-tiba mencuri perhatian warganet dengan prespektif-pemikiran wayang yang sediki menjauhi pakem. Misalnya kisah Mahacinta Rahwana yang sangat fenomenal itu.
Diakui atau tidak, dari kisah tersebutlah kita akhirnya tahu bahwa ketika masih bernama Dasamuka atau makhluk berkepala sepuluh, Rahwana bertapa di Gunung Gohkarna selama 5.000 tahun.
Dan, setiap 500 tahun sekali, raksasa itu memotong kepalanya. Hingga giliran kepala yang terakhir, Bhatara Narada menghentikan aksinya. Dasamuka berhenti, tapi dengan syarat. Dewa menyanggupi seraya bertanya, sebutkan apa permintaanmu.
Baca juga:
Azan
|
“Beri aku wanita paling cantik di dunia, ” bunyi salah satu syarat Dasamuka. Dan akhirnya, sebagaimana yang kita tahu, wanita cantik itu adalah Dewi Widowati yang kemudian menitis ke Dewi Sinta.
Sehingga dari kacamata Rahwana, Sinta adalah hadiah dari Bhatara Narada. Tapi Bagi Rama, raksasa itu telah menculik istri tercintanya.
Baca juga:
Standar Ganda Fitnah
|
Pendapat yang demikian sebenarnya bukan yang pertama. Jika kita membaca Mythology and the Tolerance of the Javanese (1965) karya Ben Anderson, di sana dijelaskan bahwa wayang sesungguhnya mengajarkan kita agar tidak hitam-putih, hal tersebut dapat diketahui dari karakter para tokoh atau jalan ceritanya.
Contoh, Puntadewa atau Yudistira yang dikenal sebagai manusia berdarah putih dan tanpa cela, di dalam sebuah kisah pernah memeritahkan Abimanyu untuk membunuh Semar meskipun pada akhirnya perintah itu tidak pernah dilaksanakan.
Baca juga:
Moeldoko Politik Cinta Kasih
|
Contoh lain adalah Arjuna, salah seorang tokoh protagonis di dalam epos Mahabarata. Tapi, di dalam lakon Palguna-Palgunadi, perilakuknya begitu memalukan karena meminta Pandhita Durna memotong jari Bambang Ekalaya agar kemahiran memanahnya tidak ada yang menandingi.
Tentu kita bisa menemukan bahkan memproduksi berbagai macam versi wayang karena kisah dan para tokoh di dalamnya sangat dinamis. Bisa dibongkar pasang laiknya mainan Lego. Hal tersebut dilakukan pertama kali oleh Prabu Erlangga (1010-1041) yang memerintahkan Mpu Kanwa untuk menyadur bagian ketiga dari cerita Mahabarata kedalam Bahasa Jawa yang diberi nama Arjuna Wiwaha.
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|
Kemudian, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Prabu Jayabaya (1130-1157) untuk mengabadikan kemenangannya yang berhasil menaklukkan Jambi dan Selat Semenanjung, dengan memerintahkan Mpu Sedah untuk menyadur enam bagian dari 18 bagian epos Mahabarata.
Bagian yang disadur dalam bahasa Jawa itu adalah perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa di mana dalam kitab tersebut Jayabaya memposisikan dirinya sebagai Pandawa yang memenangkan peperangan.
Demi legitimasi politik, dua kisah ini akhirnya disebar luaskan oleh pihak kerajaan kepada masyarakat umum melalui media wayang. Dikonversi dari tulisan menjadi kesenian.
Hingga Islam masuk dan menyebar di Jawa pada abad ke-15, di mana wayang sudah tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, Walisongo memanfaatkannya sebagai media dakwah.
Seperti halnya Mpu Kanwa dan Mpu Sedah yang menggubah Mahabarata kedalam bahasa Jawa, para elite agamawan Islam di masa Kesultanan Demak tersebut melakukan hal serupa, menggubah wayang dengan memunculkan tokoh punakawan.
Yang mana di kemudian hari, menggubah kisah wayang kedalam peristiwa kekinian adalah hal yang sangat lumrah dilakukan oleh para Dalang terlebih ketika Sujiwo Tejo dan Nanang Hape muncul ke permukaan yang membuat tiba-tiba setiap orang merasa dirinya adalah dalang.
Setiap orang merasa dirinya seorang budayawan yang mumpuni hanya bermodalkan tulisan di twiter dan blog dari kedua tokoh tersebut yang diubah sedikit-sedikit, entah tokohnya atau peristiwanya sehingga terkesan match dan relate.
Tentu saja menjengkelkan, tapi saya tidak masalah dengan gejala sosial tersebut. Saya hanya menyayangkan, kenapa budaya seadiluhung wayang digunakan untuk hal yang remeh-temeh oleh orang yang tidak pernah belajar wayang. Tidak pernah tahu dunia pedalangan.
Tidak pernah membaca buku tapi menyebut nama tokoh seperti Sigmund Freud, Jung, dan Erich Fromm yang saya yakin dia tidak tahu apa-apa soal itu. Dan yang lebih menggelikan lagi, hasil contekannya itu digunakan untuk mengolok-olok orang lain dengan nada peyoratif yang levelnya seperti obrolan warung kopi dan bersifat menyerang pribadi.
Sungguh, seandainya hal tersebut dilakukan oleh orang bodoh, mungkin saya masih bisa memaklumi karena bertahan agar dirinya tetap menjadi tolol adalah hak setiap warga negara, tapi ini pelakunya goblok wae durung.
Oleh: Fajar SH
Pegiat Literasi Blitar dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pincab Kabupaten Blitar.