JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah untuk mengurangi ‘candu’ terhadap dolar Amerika Serikat dikurangi, khususnya dalam transaksi internasional. Sebab, bila nilai tukar dolar AS semakin mahal, hal itu akan meningkatkan pembiayaan (cost of fund) para pelaku importasi, termasuk pelaku BUMN besar yang membutuhkan dolar, baik untuk pembiayaan barang maupun utang perusahaan.
“Karena itu kita harus membuat langkah cerdik dan kreatif. Kecanduan terhadap mata uang Amerika harus mulai dikurangi sebab efeknya sangat serius ke aliran darah ekonomi kita, ” ujar Said dalam Rapat Kerja Banggar DPR RI dengan Menteri Keuangan terkait Persetujuan Tambahan Kebutuhan Anggaran dalam Merespon Kenaikan Harga Komoditas, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Baca juga:
Polres Ponorogo Amankan OP Minyak Goreng
|
Karena itu, Said meminta Bank Indonesia dan pemerintah harus mampu membuat jalan alternatif untuk pembayaran transaksi internasional. Langkah Bank Indonesia yang telah membuat berbagai kesepakatan dengan berbagai negara melalui Bilateral Currency Swap (BCS) patut dikembangkan lebih lanjut. BCS adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain dalam rangka meningkatkan transaksi perdagangan bilateral, dan/atau tujuan lain yang disepakati guna pengembangan ekonomi dua negara.
“Kita juga perlu waspada dan mawas diri terhadap perekonomian global yang terus dinamis. Gejolak perekonomian ini berpotensi mengganggu jalannya pemulihan ekonomi dunia, ” tambah Anggota Fraksi PDI-Perjuangan DPR RI ini.
Pengurangan terhadap ‘candu’ dolar AS ini menjadi relevan sebab nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah (depresiasi). Padahal, dalam UU APBN 2022 telah ditetapkan nilai tukar rupiah tersebut berada di kisaran Rp14.200-14.500. Namun, beberapa hari terakhir, rupiah sudah bertengger di atas Rp14.500/dolar. Pelemahan Rupiah ini terjadi sejak Bank Sentral Amerika (The Fed) resmi menaikkan suku bunga acuannya pada 25 basis poin (0, 25 persen) pada 16 Maret 2022 dan kembali menaikannya kembali sebesar 50 basis poin (0, 5 persen) pada 4 Mei 2022.
“Penguatan mata uang Amerika tersebut tidak hanya terjadi pada rupiah, tetapi juga terlihat nyata pada mata uang global. Hal ini terlihat dari melonjaknya US Dollar Index terhadap mata uang global per 13 Maret 2022 sebesar 144, 47 dibandingkan awal tahun 2022 sebesar 96, 21, ” ujar Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.
Dengan demikian, legislator dapil Jawa Timur XI itu meminta agar pemerintah cermat melihat kebijakan The Fed ini. Karena dengan suku bunga semakin naik, maka akan semakin sedikit uang beredar, termasuk di dunia internasional. Dampaknya, permintaan terhadap dolar AS semakin meningkat dan menekan rupiah karena proses ekspor-impor masih menggunakan dolar AS.
“Kita seyogyanya peka dan waspada dari dinamika perkembangan ekonomi global, khususnya di Amerika. Normalisasi kebijakan moneter yang terjadi di Amerika, menjadi suatu dilema kebijakan yang sangat pelik. Di satu sisi The Fed membutuhkan kebijakan yang bisa meredam kebijakan inflasi yang cepat namun di sisi lain kebijakan moneter juga harus akomodatif dalam menjaga momentum pemulihan baik di ekonomi amerika maupun dunia, ” tutupnya. (rdn/sf)